Tuesday, March 25, 2008

Film Ayat Ayat Cinta

Ketemu Kang Abik di Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK) Menteng sewaktu kajian di RISKA (Remaja Islam Sunda Kelapa) ,setalah Isya, sebelum bedah buku KCB 2, saya Tanya ke beliau, gimana kabarnya film Ayat-Ayat Cinta nya Kang? Dia jawab, “Belom taw, belum ada konfirmasi nya dari produser”.

Novel Ayat-Ayat Cinta memang mbikin heboh dunia sastra kita waktu itu. cerita yang melawan arus pop melankolis romantic menjadi novel spiritual pembangun jiwa.
Minggu dinihari kemarin saya nonton.

Di awal filem main, saya sudah menemukan ketidakpasan ..rasanya tidak Wow…aja pas pembukaannya.

Latar belakangnya benar-benar tidak menggambarkan Mesir sebenar-benarnya. Lihat Wisma Nusantara yang hanya sekedar kayak gitu, sangat kumuh dan itu lho ada pedagang buah di depannya. Dan di dalemnya juga seperti gedung yang tak terawatt, Tidak pernah diperlihatkan adanya Universitas Al Azhar yang kharismatis itu. Lingkungan flat yang maaf “agak-agak kumuh”, Suasana dalam flat mahasiswa Indonesia yang amburadul berantakan, Masjid-Masjid Megah yang ada di Mesir benar-benar nggak ada. Dan yang saya Heran, gimana itu Oom Hanung Bramantyo, membuat background yang sangat-sangat memalukan, yaitu waktu Aisha dan Maria setelah marahan makan bareng di Tengah Padang Pasir, lha kok backgroundnya orang yang lagi jalan dengan onta tapi kok diem, tanpa bergerak.

Sangat disayangkan,kedahsyatan dan misi yang dikandung oleh Kang Abik dalam novelnya hancur oleh kepentingan lain. Tulisan ini adalah sebagai bentuk kekecewaan saya terhadap hasil film ini.

Novel aslinya, bolehlah dikatakkn sebagai novel islami. Tapi menonton filem ini saya sungguh kecewa. Tak saya temukan kekuatan Islam dan idealisme seperti novelnya.

Separoh filem ini yang saya temukan adalah kegagapan, atau barangkali kegagalan sutradara dalam menterjemahkan tulisan ke bentuk visual.

Sepertinya sutradara gagap dalam menerjemahkan isi novel ke dalam bentuk movie. Potongan-potongan cerita yang tidak utuh dan ganjil. Seakan memaksakan jalan cerita seperti alur novel.

Barangkali alasan klise,kalau ingin mengikuti alur cerita mungkin waktu 2 jam tidak akan cukup. Tapi yang saya temukan, alur cerita yang tidak utuh.Seakan yang kita lihat hanyalah penggalan-penggalan cerita yang tidak bersinergi.

Pemilihan peran yang tidak pas, lucu melihat tooh-tokoh yang diusung tidak mewakili figur novel. Wajah-wajah Mesir yang digantikan oleh wajah melayu. Tapi untuk pemilihan tokok gak masalah menurut saya.

Visualisasi yang tidak berhasil mengangkat alam dan jiwa Mesir sungguh sangat disayangkan karena memang lokasi shooting tidak dilakukan di Mesir. Dalam pendahuluan novel Kang Abik, digambarkan Mesir yang panas luar biasa, betapa sulitnya Fahri menjalani masa-masa disana, kurang berhasil diangkat oleh filem ini.

Tapi yang paling mengecewakan dan mengkuatirkan saya adalah rusaknya akidah dan runtuhnya nilai-nilai Islam oleh film ini. Hebatnya kekuatan gambar atau filem adalah secara halus membuat masyarakat menjadi permisif, dan lupa pada idealisme.

Lihatlah, Fahri yang ahli agama dan menjaga akhlak, digambarkan suka berduaan dengan Maria. Yaitu pada saat di sungai Nil, pada saat Maria menghampiri di Kampus Fahri dan beberapa adegan lagi. Padahal dalam Islam dilarang berduaan dengan yang bukan muhrim.Gambaran Aisyah yang seorang akhwat, menundukkan pandangan dan sejuk dipandang, berganti dengan seorang wanita yang mau beradu-pandang dengan Fahri.
Ah, pokoknya banyak kekurangan film ini. Kalau mau diteruskan akan banyak kritik saya lainnya terhadap filem ini.

Memang tidak mudah untuk mengangkat cerita yang bertemakan dakwah, berlabelkan Islam ke dunia film. Apalagi bagi seorang yang tidak berkecimpung dalam dakwah dan kurang mendalami agama.. "Mas, kalau memang jadi membuat film itu, mbok sampeyan nyantri dulu di Mesir barang tiga bulan, biar bisa tahu persis bagaimana khas kehidupan di sana."

Yang terakhir… dalam tulisan ini juga saya mau menanggapi diskusi dengan sahabat saya, Kiky Maharani via sms, tentang film AAC. Gini Ky, Penonton berduyun-duyun ngantri itu adalah apresiasi kita terhadap hasil karya bangsa sendiri. Coba bandingkan dahulu kala kalo ada film Indonesia bioskop sepi. Waktu film Pasir Berbisik, walaupun yang membintangi Dian Sastro, penonton bisa diitung dengan jari (Mungkin kamu udah gak di Indonesia waktu itu), tapi itu bener-bener sepi pengunjung, promosi juga cukup gencar. Jadi saat ini, apresiasi masyarakat bagus banget. Film-film Indonesia bisa supply terhadap industry film di tanah air.
Yang mengecewakan malah justru dari pihak produser, sutradara dan managing directornya. Lha gimana enggak. Dari sisi jualan, film ini sebenarnya kalo istilah Tung Desem Waringin adalah Menjaring Ikan di kolam, karena pasarnya udah kebentuk yaitu para pembaca Novel yang terdahulu. Dan kita tahu pembaca Novel itu nyenggol di angka sekian juta. Berarti dari sisi bisnis itung-itungan bodo nya masuk banget menurut saya, udah bisa keliatan lah.

Yang jadi pertanyaan adalah kenapa kualitasnya kok sekedarnya, mbok nambah biaya sedikit sambil pelesir ke Mesir, take beberapa scene aja, Mungkin suasana lingkungan Flat Mahasiswa Indonesia di sana, Masjid-Masjid tempat Fahri menimba ilmu bersama Syekh Utsman, Universitas Al Azhar tempat menimba ilmu. Saya kira cukup. Tapi kok tampilan itu semua nggak ada. Penonton itu udah expect to much terhadap karya ini…
Adanya malah, gambar unta yg diem, Rumah Sakit yang gedungnya itu-itu saja, Fiuhh
Any comment ??

No comments: