Thursday, December 6, 2007

Kaya dan Zakat

Hhh... malam itu, seabis kelar baca Saya tidak Ingin Kaya nya AA Gym, saya tertegun. Saya sering mendengarnya. Namun setiap kalinya, selalu berkesan. Selalu lebih kuat.

”Lho, bukannya saya ingin kaya, tapi saya harus kaya” kata Aa Gym.
Hhmm.. begitulah, akhir-akhir ini saya jadi sering sekali berpikir tentang kekayaan. Bukan, bukannya saya tidak sepakat dengan ucapannya Aa Gym. Tapi justru karena saya mengiyakan setiap baitnya. Muslim memang harus kaya. Tapi, masalahnya, siapa sih yang layak disebut kaya itu ? Lalu, sebanyak apa kekayaanya ?

Ide yang paling umum, orang kaya adalah orang yang punya rumah di Menteng, Kebayoran, Pondok Indah dengan pekarangan luasnya serta berjejer mobil-mobil mewah di dalamnya, atauu...orang yang punya rumah di deretan Valentino-nya kompleks bintaro plus honda jazz terbaru digarasinya. Mmm, tapi kalau rumah itu berarti kredit dua puluh tahun plus mobil itu tambahan lima tahun kredit lagi, judulnya adalah gak tenang. Mau pakai istilah credit card kek, KPR plus plus kek, itu tetap saja hutang. Yah, seperti beberapa kenalan saya yang kebetulan pasangan muda dan punya double income. Lha, terus kalo ngontrak terus, judulnya juga deg-degan. Aah, itu diluar konteks yah, kan tulisan ini tidak memuat tips-tips bagi pasangan muda. Tapi lebih luas lagi.

Lalu, ide yang lain ? mmm... mungkin seperti rekan saya, yang anaknya cuma dua dan kebetulah dua-duanya sudah di perguruan tinggi, tapi pembantunya di rumah ada empat. Pasti kaya banget kan. Eh, tapi kalau menjelang lebaran ini, dia panik luar biasa karena pembantu-pembantunya pulang kampung semua, menurut saya dia harus kita coret ya. Lha, wong, mempertahankan sesuatu saja ’nda bisa, rasanya dia tidak sungguh-sungguh kaya.

Ooh ya, ada lagi, mungkin seperti cerita teman saya, yang kaya itu adalah perempuan yang jadi manager di perusahaan bagus dan suaminya pejabat pemerintahan dan petinggi partai yang sedang berkuasa. Kaya dong, tentunya, bukan double income lagi tapi multi income. Aah, tapi kalau sebentar-sebentar anaknya yang perempuan – yang ternyata ga pe de sama sekali -- minta operasi bedah plastik kakinya karena kurang seksi, atau hidungnya yang dirasa kurang bangir dan gak berbentuk segitiga. Dan kebetulan minta operasinya di Perancis atau di MayoClinicnya Rochester, kan ga normal tuh. Cash flow nya balance sekali. Uang yang masuk sederas uang keluar. Atau mungkin malah cash flownya bleeding lagi. Di reject saja pendapat teman saya itu.
Terus, siapa dong yang kaya itu?

Kalau ini bukan, itu ditolak. Ooopss, pasti artis ya, artis kan pemasukannya bisa setengah milyar ya dalam semalam. Wah, kalau artis sih, sudah ga masuk list dari awal. Kok bisa ? Ya iya dong, kan para artis ini ga bisa membeli kebebasannya. Waktu-waktu pribadinya. Digosipin terus.

Haha... terus siapa dong yang kaya itu? Jangan-jangan ga ada lagi, bottom line-nya aja ga jelas gitu. Sebelumnya, saya juga berpikir begitu. Rasanya orang yang saya cari tidak nyata. Adanya hanya pada tataran teoritis atau di alam saat semua garis adalah kebaikan. Tapi, akhir-akhir ini saya baru menemukannya. Dan, heyy, look, ini bukan di negeri dongeng. Mereka ada, dan real !

Salah satu contohnya ya, salah seorang teman saya, ibu-ibu. Sangat sederhana, bahkan untuk ukuran karyawan. Posisinya dikantor biasa saja. Suaminya pegawai negeri biasa. Anaknya empat, laki-laki, usia sekolah semua. Tapi ternyata sedekahnya untuk para satpam/cleaning service/messenger jumlahnya sangat besar, bahkan lebih besar dari salah satu manager.

Seorang teman perempuan saya pun saya sebut sangat kaya. Dia bekerja di perusahaan yang menurut saya sih ga manusiawi, kerja dengan waktu di luar batas toleransi saya. Mending gajinya sepadan bebannya, tapi nope tuh. Saya berkali-kali bilang padanya, tapi dia bilang bekerja itu ibadah, dan yang penting ikhlas, sampai Allah menentukan sesuatu yang lebih baik. Hh.. susah deh, kalau orang terlalu baik begini.

Terlalu ’nrimo, tidak punya daya pemberontak. Haha.. untungnya imannya kuat, tidak terpengaruh saya . Tapi yang saya kagumi, dia rela membelah-belah dirinya demi sesuatu yang lebih baik dan lebih besar. Di sisa-sisa waktunya – yang masih aktif di berbagai kegiatan --, masih sempat ngurusin bazaar ramadhan di hari ini sampai rela menguras uangnya, tenaga dan pikirannya tentu. Dan saya yakinnya, besok senin, dia pasti sudah stand by di kantor dengan kalem tanpa ada orang yang mengira dia sudah melakukan hal besar kemarinnya. Seseorang yang tidak hanya memikirkan segala pernak-pernik tentang dirinya, tidak hanya berpusat pada dirinya, tidak egosentris, dan masih memiliki energi banyak untuk memberi dan berbagi pada yang lain adalah sangat kaya menurut saya.

Oh ya, adalagi yang kaya menurut saya, seorang laki-laki, usia pertengahan. Biasa saja. Tipe bapak-bapaklah. Tapi saya jadi memperhatikannya. Lekat. Habis hatinya baik sekali. Terharu sekali saya melihatnya. Dia tidak membiarkan satu pengemis/pengamen/anak-anak yang menyapu sambil menadahkan upah itu --– yang jumlahnya buuanyaaakk sekali itu --- lewat didepannya tanpa ia menyodorkan sehelai kertas. Entah laki-laki itu baru dapat bonus mungkin, atau warisan, who knows. Tapi orang yang tidak membiarkan tangan dibawah lewat dengan hampa begitu saja dari hadapannya adalah orang yang kaya, menurut saya. Meskipun dia sudah membayar zakat atau sedekah ditempat lain, misalnya.

Karena mengutip ucapan Bapak saya ya, sedekah itu adalah wujud nyata kemurahan hati. Kalau zakat, bukan tentang kemurahan hati, tapi tentang kebesaran hati, karena zakat adalah hak orang lain. Nah, kalimat terakhir ini yang membuat mendung saya kemarin sore sirna seketika. Dan saya merasa sangat bodoh setelahnya. Iya dong, zakat adalah hak orang lain, hak fakir miskin, hak para mualaf, hak pejuang fii sabillilah, dan hak orang-orang lain yang tidak seberuntung kita. Tidak pernah sekali pun jadi milik kita. Hanya kebetulan dititipkan pada kita.

Makanya, saya menertawakan diri saya sendiri, lama, kok bisa-bisanya cemberut hampir seharian gara-gara terlalu nervous menghitung zakat tahunan saya. Lha, logikanya kan dapat, hak orang lain toh. Bukan milik kita. Kok seperti melepas sesuatu yang begitu lekat ? poor me...

Setelahnya dengan semangat seorang relawan baru pengumpul zakat plus galak sedikit, saya sms teman-teman saya, ayo, hitung zakat dengan teliti. Mobil, coba dimasukin. Emas, coba ya, dihitung juga. Usaha-usaha, dagang, ternak lobster,saham dan reksadananya, konsultan software, biro travelnya coba ya, teliti ulang – kebetulan beberapa teman ada yang berwiraswasta --. Haha.. gak apa-apa galak sedikit, inginnya kan kaya bareng-bareng, iya gak ?

Jadilah sore itu sore pembelajaran menjadi kaya. Ingin kaya, berzakatlah... bisik saya berkali-berkali. Mmh.. setelah dipikir-pikir, motto itu bagus juga, kok jadi narsis gini.. Yup, bismillah, sebuah usaha kan, sama-sama pejuang kan, untuk mendekat pada Pusat Seluruh Cinta... Insyaallah kita bertemu disana ya... Janji ?
Ooopss, saya tersentak, tiba-tiba, eh, wait , ada yang melintas cepat, jika zakat profesi 2,5%, zakat maal 2,5%, terus.. terus.. zakat bonus itu kan 20%... Huuaaah.. THR itu masuk zakat bonus gak ya? Terus bonus review performance tengah tahun saya kemarin... itu 20% juga-kah ? Terus rebat dari distributor itu ? Jika iyyyaaa…………
Adduhh, hati, mengapa begitu membenci surga ???

-with backsound Bila Waktu Tlah Berakhir-nya Opick..
mmh… jika sungguh-sungguh waktu telah berakhir???

No comments: