Tuesday, December 22, 2009

Kita sekarang dan Masa Depan

Salah satu ucapan yang tidak terasa sering kita ungkapkan adalah frase ’tidak terasa, ya’. Sehingga, diakhir pekan kita kerap mengatakan; ”Duh, tidak terasa ya, sudah hari jum’at lagi”. Dan diakhir bulan kita mengatakan;”Tidak terasa ya, kok sudah akhir bulan lagi”. Lalu diakhir tahun, kita bilang; ”Tidak terasa ya, sebentar lagi tahun baru.....” Waktu yang didepan seolah terlihat berat untuk dijalani, ternyata ’tidak terasa’ sudah kita lalui tanpa kendala yang berarti. Sekarang, mari diingat lagi; berapa tahun usia anda saat ini? Bukankah kita telah menjalani tahun demi tahun kehidupan kita itu, nyaris ’tidak terasa’ juga?

Kalau sedang berjalan kaki, saya sering menemukan paku di jalan. Demikian pula halnya ketika tengah bersepeda. Kehadiran paku dijalan menarik perhatian saya. Karena, saya merasa bahwa jalan bukanlah tempat dimana paku seharusnya berada. Pernah suatu kali kepalan tangan saya tidak lagi bisa dimuati oleh apapun karena didalamnya terdapat segenggam penuh paku yang saya punguti di jalan yang saya lintasi. Sehingga saya harus menyediakan wadah khusus untuk menampung paku-paku itu. Dalam hati saya berbisik;’seandainya semua paku di seluruh jalan di negeri kita dipunguti, berapa ton paku yang bisa dikumpulkan?’

Mungkin saya agak berlebihan soal ’berapa ton’ itu, kalau diartikan sebagai satuan berat ’seribu kiloan’. Tapi, kalau ’ton’ dalam pengertian satuan jumlah ’seribuan’, saya yakin ungkapan ’berapa ton’ itu tidak berlebihan. Artinya, ada ribuan buah paku yang berserakan di jalan. Ketika saya membayangkan beribu-ribu paku yang menghadang kita dijalan, saya juga membayangkan; betapa ban kendaraan kita berada pada situasi yang sangat kritis saat melintasi jalan-jalan itu. Karena, setiap kali kita melintas, maka ada peluang ban kendaraan kita tertusuk paku-paku itu. Anehnya, mengapa tidak semua kendaraan yang melintasi jalan itu bannya bocor terkena paku? Bahkan, dalam setahun saya lalu lalang disana, belum tentu ban kendaraan saya kena paku barang sekalipun. Padahal kita tahu, disana banyak paku berserakan.

Mengingat itu, hati saya sering menjadi lebih terhibur. Mengapa? Karena, seperti jalanan yang berpaku disana-sini itu; kadang-kadang saya melihat jalan hidup ini juga sedemikian beresikonya untuk dilalui. Resiko kehilangan pekerjaan, resiko ditolak oleh pelanggan, resiko dilecehkan teman, resiko disepelekan atasan, resiko tidak memperoleh pendapatan yang sepadan, resiko kebangkrutan, resiko ini, dan resiko itu. Rasanya, kita tidak perlu memungkiri bahwa semua kemungkinan itu sering membuat hati kita ciut. Namun, membayangkan bahwa setiap hari kendaraan kita melintasi jalan yang berpaku; maka setiap hari kita berpeluang untuk mengalami bocor ban di jalan. Anehnya, kita tidak setiap hari mengalami bocor ban.

Menerima fakta itu membantu hati saya untuk menyadari bahwa; meskipun setiap hari kita melintasi jalan kehidupan yang penuh resiko, tapi ternyata kita tidak selamanya mengalami kejadian ’semengerikan’ itu. Mari kita tengok kebelakang barang sejenak. Lima tahun yang lalu, misalnya, kita tidak bisa membayangkan bagaimana caranya menjalani kehidupan selama lima tahun kedepan. Namun, kenyataannya adalah; kita sudah menjalani waktu lima tahun terakhir ini hingga saat ini, dengan ’tanpa terasa’. Hebatnya lagi, ternyata kita baik-baik saja.

Sekarang, mari kita berdiri disebuah titik yang kita sebut sebagai ’saat ini’, lalu memandang jauh kemasa depan. Apakah kita merasakan kegalauan itu? Kita galau karena tidak ada kepastian akan masa depan kita. Tetapi, mari kita tengok beberapa tahun lalu ke belakang ketika kita merasakan kegalauan yang sama. Kita bisa sampai di titik ini, dengan selamat. Oleh karena itu, meski saat ini kita didera galau yang sama ketika memandang masa depan; semoga kita masih memiliki kekuatan untuk meyakini bahwa kita akan berhasil melewati masa depan itu seperti halnya kita telah berhasil melampaui masa lalu kita.

Ngomong-ngomong, menurut pendapat anda; mengapa ban mobil kita jarang bocor meskipun setiap hari melintasi jalan yang berpaku? Mungkinkah itu karena Tuhan melindungi agar ban mobil kita tidak terlampau sering terkena paku? Kalau begitu, menurut pendapat anda; mengapa hidup kita jarang bahkan tidak pernah mengalami peristiwa mengerikan, meskipun setiap saat kita melintasi jalan hidup yang berpeluang untuk mengalami peristiwa-peristiwa mengerikan? Mungkinkah itu karena Tuhan tiada henti-hentinya menjaga diri kita agar tidak mengalami hal-hal mengerikan yang melampaui batas kemampuan kita?

Lebih dari itu, Tuhan telah menjagakan kita agar tidak semua peluang tak menyenangkan itu benar-benar menjadi kenyataan. Memang, kita menghadapi begitu banyak peluang buruk yang tidak kita sukai. Namun, Tuhan telah menebarkan peluang baik jauh lebih banyak dari hal-hal buruk yang mungkin menimpa diri kita. Dan itu cukup untuk membuktikan bahwa sebenarnya Tuhan berpihak kepada kita. Sebab, ketika Dia memberi peluang baik lebih banyak dari peluang buruk, maka sesungguhnya Dia ingin agar kita berkesempatan untuk mendapatkan peluang baik itu.

Jika sampai sekarang hidup kita baik-baik saja; tidak berarti bahwa kita tidak pernah mengalami cobaan, bukan? Kita mengalami banyak cobaan, namun sejauh ini semua cobaan itu masih dalam batas-batas kemampuan kita. Ini cocok dengan penjelasan guru ngaji saya bahwa; ”Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada seseorang, melainkan dalam batas kemampuan dirinya.”

Peluang buruk itu seperti paku yang berserakan dijalan. Jika kita memilih untuk memarkir kendaraan dirumah karena khawatir bannya akan kempes tertusuk paku yang berserakan; maka kita tidak akan pergi kemana-mana. Sebaliknya, jika kita bersedia mengambil resiko itu, maka kita akan mengeluarkan kendaraan dari garasi. Lalu kita melintasi jalan yang seharusnya kita lalui. Meskipun itu berarti bahwa kita menghadapi resiko ban bocor. Namun, kenyataannya ban kita tidak terlampau sering bocor. Bahkan, sekalipun kita melintasi jalan berpaku setiap hari.

Barangkali, jalan hidup kita juga memang demikian. Meskipun banyak resiko yang kita hadapi saat melintasinya; namun, tampaknya kita akan baik-baik saja saat menjalaninya setiap hari. Sehingga, memilih untuk menyingsingkan lengan baju lalu bangkit berdiri, kemudian melangkah menjalani hidup ini; adalah pilihan yang jauh lebih baik daripada menyerah dan berdiam diri. Sebab, saat kita menyerah; kita melewatkan beribu kesempatan dan kemungkinan untuk memperoleh anugerah yang kita sendiri tidak pernah tahu sebesar apa. Sebaliknya, saat kita berserah diri kepada keberpihakan Tuhan terhadap kesuksesan kita, lalu kita memohon ijin kepada-Nya untuk berikhtiar; maka kita memiliki harapan untuk berhasil melintasi perjalanan hidup ini dengan baik. Dan, tanpa terasa; kita bisa tiba diakhir perjalanan yang telah Tuhan tentukan untuk kita. Lalu saat itu kita boleh kerkata; ”Tuhan, telah kutunaikan seluruh panggilan-Mu. Dengan segala kurang dan lebihku. Dan kini,
ijinkan aku untuk menyerahkan penilaian akhir kepada-Mu....”

Mari Berbagi Semangat!

Thanks to Pak DK

Thursday, December 17, 2009

Motivasi Intrinsik

Di antara bentuk keterampilan jiwa sang juara sejati adalah menyadari sumber motivasi yang sangat kuat serta menjadi modal utama baginya dalam mencipta keajaiban. Motivasi internal/intrinsik, demikian para pakar motivasi menamai jenis motivasi yang relatif permanen ini. Sebagian lain menamainya dengan motivasi diri (self motivation).

Motivasi diri merupakan energi dari dalam diri sang juara yang mengarahkan tingkah lakunya. Ia hadir dengan didasari kesadaran yang menyeluruh atas eksistensi diri dan tujuan hidup untuk menjadi manusia yang bermakna lebih dari adanya. Para komikus menamai manusia yang bermakna lebih dari adanya ini dengan istilah “Superman”, Nietzsche menyebutnya “Uebermensch” (manusia unggul), para ulama menyebutnya “Insan Kamil” (manusia sempurna), dan Saya ingin menyebutnya “Sang Juara”.

Motivasi jenis ini relatif permanen dan kuat karena sumbernya dari dalam diri: ‘Aku’-lah penentunya, dan ‘Aku’-lah pelakunya, maka motivasi ini menjadi bagian inheren dalam diri ‘Aku’ sehinggat teramat sulit untuk dilepaskan. Ia terus bertumbuh dan berkembang dalam ‘Aku’. Ia pun tak pernah henti untuk memicu dan memacu ‘Aku’ untuk senantiasa menoreh sejarah kesuksesan sang juara sejati.

Motivasi diri memiliki dua bagian: mental dan fisik. Secara mental, sang juara mengimajinasikan kemana dia ingin pergi. Dan secara fisik, sang juara mengambil tindakan untuk menuju ke sana. Pikiran dan tindakan memiliki tingkat urgensitas yang sama bagi Sang juara sejati dalam membangun kesuksesan hidupnya.

Orang yang termotivasi oleh dirinya sendiri menyertai kata benda dengan kata kerja: ia menentukan sasaran-sasarannya (kata benda) dan bertindak mencapainya (kata kerja). Demikian memo motivasional bagi Sang juara sejati.

Bertanyalah kepada Sang juara sejati! Niscaya dia memiliki kejelasan sasaran-sasaran yang ingin dicapai dan senantiasa dalam keadaan bertindak untuk mencapai keberhasilannya. Tidak lama setelah dia mencapai sasarannya, ia akan menetapkan sasaran-sasaran yang lebih tinggi guna meningkatkan kesuksesan yang dia capai (QS94:7).

“Motivasi diri merupakan suatu kunci menuju kesuksesan. Saya menyebutnya ‘The Miracle of Motivation’ (keajaiban motivasi)!” Demikian George Shinn menjelaskan hubungan antara motivasi diri dengan kesuksesan. Dia juga menjelaskan hubungannya dengan iman: “Saya yakin bahwa iman adalah pemotivasi utama manusia….!”.

Hal ini senada dengan sabda Rasulullah 15 abad yang lalu, “Al Imanu yashna’ul khawariq!” (Keimanan itu senantiasa melahirkan keajaiban-keajaiban fantastis). Sejarah telah membuktikan para pemilik keimanan mampu melakukan hal-hal yang kalaulah sejarawan tidak mengabadikannya, niscaya kita tidak akan pernah percaya bahwa dunia ini pernah dihuni oleh orang-orang dengan prestasi sehebat itu.

Ternyata, rahim motivasi paling subur yang senantiasa mampu melahirkan keajaiban-keajaiban tersebut bernama keimanan!

Bungkus Palsu

Teman ... copy paste dari e-mail seseorang
Sebuah pelajaran untuk kita, yg kadang masih memandang org dari luarnya saja
Orang berdasi rapi kita hormati, eh ternyata copet Sopir bajaj kita anggap lalu, padahal dia sayang keluarganya & taqwanya kpd Allah melebihi diri kita yg kerja di gedung mentereng.
Dont judge the book by its cover, but READ THE BOOK !! =)

Jessica Chandra adalah anggota baru di sanggar tari. Wanita mungil itu selalu
terlihat lincah dan riang. Gayanya luwes. Senyumnya ramah. Tidak banyak yang
mengetahui usianya sudah berkepala tiga. Sepintas gayanya lebih mirip mahasiswi daripada seorang Ibu beranak satu.

Minggu lalu Jessica terlambat. Dia tidak ingin kejadian itu terulang lagi.
Setelah sepeda motor bututnya diparkirkan, dengan langkah tergesa-gesa Jessica langsung menuju meja resepsionis. Masih seperti biasa, senyum lebar selalu menyungging di bibirnya. Lalu dia menyodorkan kartu keanggotaan untuk diabsensi.

Jessica baru menyadari air botol minum di kantong samping ranselnya kosong.
Ternyata dia lupa mengisi ulang botol minumnya karena tergesa-gesa. Jessica
mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Mencari air dispenser. Dalam benaknya, disanggar tari sebesar itu pasti ada air dispenser yang disediakan untuk para member.

Dengan rasa sungkan dan ragu, Jessica bertanya kepada resepsionis apakah ia
boleh meminta botol air minumnya diisi kembali. "Oh, boleh", jawab resepsionis. Dipanggillah seorang pelayan dapur "Maaf, mbak. Saya lupa mengisi air minum, boleh tolong diisikan ?", tanya Jessica. Jessica lalu memberikan botol minum berukuran 500 cc itu kepada pelayan dapur. Pelayan dapur agak ragu menerima botol minum tersebut. Dengan gelisah ia masih berdiri di sana , seakan-akan menunggu persetujuan dari seseorang. Jessica sedikit heran. Keengganan itu terlihat begitu jelas.

Kemudian datanglah seorang wanita paruh baya. Entah siapa dia, tapi Jessica
sering melihatnya di kafe lantai bawah. Mungkin pemilik sanggar tebaknya. Jessica merasa tidak enak dengan tatapan tajam dari mata wanita itu. Pelayan dapur agak gugup menjelaskan maksudku kepada wanita tersebut.

"Mbak ini minta air minum", kata pelayan kepada wanita tua. Wanita tua dengan
sorot tidak bersahabat berkata : "Kenapa tidak beli saja air mineral, dek ?
Kami ada menjualnya di sini".

Jessica menangkap pesan penolakan. Dia tau wanita itu enggan mengisikan air
minumnya. "Oh, gak boleh ya. Kalo gitu gak papa kok".

Senyum Jessica sedikit agak dipaksa. Dia mengambil kembali botol minumnya
dari tangan pelayan dapur dan segera bergegas melangkah ke lantai dua. Meski
sedikit kecewa, Jessica menghibur diri bahwa dia tidak akan mati dehidrasi
saat latihan.

Sementara di lantai bawah, masih terdengar debat kecil antara wanita tua itu dengan resepsionis. Jessica tidak lagi memperdulikan. Dia hanya ingin latihan hari itu segera usai.

***
Hari berikutnya, Jessica masih rutin mengikuti latihan seperti biasanya. Meski ada rasa tidak enak, Jessica tetap santun menundukkan kepalanya sambil tersenyum kepada wanita tua itu ketika menyapanya. Jessica sama sekali tidak pernah menceritakan kejadian itu pada siapapun. Yang pasti sejak itu, Jessica sangat memperhatikan botol air minumnya.

***
Suatu sore, Jessica tidak mengendarai sepeda motor bututnya. Suaminya berjanji akan menjemputnya. Hujan mengguyur deras sekali. Usai latihan, Jessica segera turun. Dia melihat hidangan mie goreng dan nasi goreng di meja. Malam itu adalah perayaan tahun pertama berdirinya sanggar tari.

Wanita tua itu terlihat sibuk melayani para member lainnya. Mengajak mereka makan. Banyak yang menolak halus, mungkin takut gemuk, mungkin juga ingin segera pulang. Jessica pun menolak halus ketika ditawarkan. Makan terburu-buru bukan kebiasaannya. Lagipula, dia tidak ingin suaminya menunggu lama.

Jessica mengecek HPnya. Ternyata sms dari suaminya mengabari terlambat menjemput. Jessica masih berdiri di luar dan menunggu di sana . Tiba-tiba wanita tua itu telah di sampingnya.

"Kamu lagi menunggu seseorang ?" "Iya. Suamiku" "Suami ? Saya pikir kamu masih mahasiswi" Jessica tertawa. "Aku sudah 35 tahun" "Menikah muda ya ?" "28"
Jessica tidak tau pasti apakah umur segitu termasuk menikah muda.
"Bukankah kamu yang biasanya mengendarai sepeda motor ?", tanya lagi wanita
itu. Tentu saja mudah dikenali. Karena Jessica satu-satunya wanita yang
mengendarai sepeda motor ke sanggar. Kebanyakan member yang lain mengendarai
mobil, sebagian lagi didrop oleh supir.

"Iya. Hari ini dijemput suami, jadi aku gak bawa motor".
"Oh, itu dia jemputanku", Jessica menunjuk pada sebuah mobil Mercedes hitam mengkilap seri terbaru yang berhenti pas di tempatnya menunggu.

"Bukankah Itu mobil Bapak Adjie ?", tanya wanita tua penuh rasa
penasaran. "Yah, Mas Adjie adalah suamiku".

Wanita itu terkejut. Tatapannya masih tidak percaya ketika melihat Jessica
melambaikan tangan dan menembus hujan masuk ke dalam mobil.

Mobil itu telah lama berlalu, tapi wanita tua masih berdiri sana , melongo.
Ketika memori membawanya kembali pada kejadian air minum itu, rasa malu
menghantam keras hatinya. Tiba-tiba dunia terasa gelap.

Adjie ! Dia adalah sponsor utama yang selalu mendukung kegiatan sanggar
tarinya. "Oh, tidak".

***
Sahabat, kita sering menganggap diri kita adalah orang baik. Tapi ketika kita
dihadapkan pada bungkus luar dari apa yang mereka pakai, dari kendaraan yang
digunakan, begitu gampangnya sikap hati kita berubah.

Bila "bungkus luar" itu bagus, kita cenderung "mengangkat tinggi-tinggi"
orang tersebut. Sebaliknya bila "bungkus luar" jelek, kita lalu
menjengkalnya, menyepelekan mereka. Senyum kita jadi palsu. Kebaikan hati
kita jadi basa-basi.

Hendaknya di dalam pelayanan, kita juga tidak memandang 'bungkus luar' dari
tiap-tiap orang "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri"