Friday, November 20, 2009

Aku Bukan Pilihan by Iwan Fals

Lagu ini sebagai backsound waktu Jalan ke Lampung dulu.



Aku Bukan Pilihan by Iwan Fals


kiniku mengungkapkan
siapakah dirimu
yang mengaku kekasih itu
aku tak bisa memahami...

ketika malam tiba
kurela kau bertanya
dengan siapa kau melewatinya
aku tak bisa memahami...

reff:
aku lelaki tak mungkin menerimamu bila
ternyata kau mendua membuatku terluka
tinggalkan saja diriku yang tak mungkin menunggu
jangan pernah memilih aku bukan pilihan

selalu terungkap tanya
benarkah kini dirimu
wanita yang kukenal hatinya
aku tak bisa memahami...

(reff)
tak perlu kau memilihku
aku lelaki bukan tuk dipilih

Tuesday, November 17, 2009

Lift kehidupan

Kita semua tentu mengenal lift. Dengan alat itu kita bisa naik atau turun tingkat pada sebuah gedung tinggi. Jika kita ingin naik, tinggal menekan tombol naik; lalu lift membawa badan kita naik. Jika kita ingin turun, tinggal pencet tombol turun; lalu lift itu dengan patuh membawa tubuh kita turun. Secara kasat mata, lift membawa kita naik atau turun. Namun, apakah lift juga bisa membawa ‘diri’ kita menuju ke tingkat yang kita inginkan?

Saya pernah mengunjungi sebuah gedung di SCBD, gedung itu memiliki lift yang unik. Pada kebanyakan gedung bertingkat lain, jika kita ingin menuju ke lantai tertentu, kita cukup menekan tombol up atau down saja. Jika ada orang lain yang sudah menekan tombol itu, maka kita tidak usah bersusah repot lagi untuk menekannya. Istilahnya, kita bisa nebeng kepada usaha orang lain, untuk tiba di tingkat yang kita inginkan. Ketika salah satu pintu lift akan terbuka. Lalu kita memasukinya. Didalam lift itu, barulah kita menekan tombol nomor lantai yang hendak kita tuju. Jika ada orang lain yang sudah menekan ke lantai yang kita ingin tuju, kita boleh berdiam diri saja. Kita sebut saja system seperti ini sebagai lift konvensional.

Di gedung itu tidak bisa begitu. Karena untuk menuju ke lantai tertentu kita harus ‘terlebih dahulu’ menekan nomor lantai yang kita inginkan secara digital ‘diluar lift’. Setelah itu, sistem canggih tersebut memilihkan untuk kita lift mana yang akan membawa kita ke lantai yang kita inginkan. Contohnya, kita menekan angka 1 dan 0 untuk menuju ke lantai 10. Maka sistem itu akan mengarahkan kita kepada lift P, misalnya. Dan itu berarti bahwa kita harus menggunakan lift P untuk bisa sampai ke tempat yang akan dituju.

Ketika pintu lift yang bukan P terbuka, maka kita diam saja. Sekalipun lift itu masih kosong. Sekalipun kita sedang terburu-buru, kita tetap tidak memasukinya. Mengapa? Karena lift itu tidak akan membawa kita ke Lt 10 yang kita tuju. Dan karenanya kita akan tetap fokus kepada lift P. Dan kita hanya akan memasuki lift P, seperti niat kita semula. Ketika pintu lift P terbuka, kita memasukinya tanpa harus menekan apapun lagi. Karena, lift itu akan membawa kita ke lantai 10 yang kita pilih diawal tadi. Saya menyebutnya lift kontemporer.

Lift konvensional versus lift kontemporer. Di lift konvensional, kita boleh saja menyerahkan tujuan hidup kita kepada arus yang diciptakan oleh orang lain. Kita boleh ikut orang lain yang sudah terlebih dahulu menekan tombol. Tidak masalah apakah tujuan orang itu sama dengan tujuan kita atau tidak. Begitu tombol up atau down ditekan oleh orang lain, maka kita tinggal mengikuti arusnya saja.

Di lift kontemporer, kita tidak bisa lagi melakukan hal itu. Artinya, kita tidak bisa mengikuti saja apa yang orang lain lakukan dengan lift itu tanpa tahu tujuannya terlebih dahulu. Kita boleh mengikuti orang itu, hanya jika kita tahu persis bahwa tujuan orang itu adalah lantai yang sama dengan yang ingin kita tuju. Anda tidak boleh mengikuti orang lain jika tujuannya berbeda dengan Anda. Bahkan, Anda pun tidak boleh mengikuti orang lain dan menyerahkan tujuan Anda kepada orang lain yang Anda tidak tahu apakah tujuannya sama dengan Anda atau tidak.

Lift konvensional versus lift kontemporer. Di lift konvensional, kita tidak perlu merencanakan, kemana kita akan pergi. Di lift kontemporer, kita harus merencanakan, kemana kita akan pergi. Sebab, jika kita tidak merencanakan kepergian kita, maka begitu memasuki lift kontemporer ini, kita akan langsung tersesat. Sebab, lift itu tidak membawa kita ke tempat yang ingin kita tuju. Melainkan tempat antah berantah yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Jika lantai yang ingin kita tuju itu adalah ‘tujuan hidup’ kita. Dan jika kehidupan kita ini adalah sebuah lift yang akan membawa kita kepada tujuan hidup yang ingin kita capai itu, maka kiranya layak jika kita mengajukan 3 pertanyaan ini:

Pertama, “Apakah kita bisa mengandalkan dan menyandarkan diri kepada orang lain yang belum jelas kemana arah tujuannya?”

Kedua, “Apakah kita bisa memasuki pintu lift peristiwa kehidupan mana saja, yang tidak jelas ke lantai kehidupan mana dia akan menuju?”

Ketiga, “Apakah kita bisa membiarkan diri kita dibawa oleh lift kehidupan itu tanpa harus menentukan terlebih dahulu, lantai dimana tujuan kehidupan kita didefinisikan?”

Kita tidak selama-lamanya berhadapan dengan lift kehidupan konvensional hingga kita boleh saja menyerahkan seluruh kepentingan hidup dan tujuan hidup kita kepada orang lain yang sudah terlebih dahulu men-set lift itu. Sebab, ada kalanya kita berhadapan dengan lift kehidupan kontemporer. Sehingga kita harus benar-benar melakukan sendiri, dan menentukan sendiri; tujuan yang ingin kita capai dalam hidup kita.

Kita tidak selama-lamanya berhadapan dengan lift konvensional hingga kita boleh saja memasuki lift kehidupan manapun yang terbuka lebih dahulu. Sebab, ada kalanya kita berhadapan dengan lift kehidupan kontemporer. Sehingga kita harus benar-benar fokus, hanya kepada lift kehidupan yang akan membawa kita kepada tempat tujuan yang sudah kita rencanakan saja.

Kita tidak selama-lamanya berhadapan dengan lift kehidupan konvensional hingga boleh-boleh saja jika kita tidak menekan dan merencanakan tombol tujuan kehidupan sebelum memulai perjalanan ini. Karena didalam lift kehidupan konvensional, ‘akan ada kesempatan’ untuk menekan tombol itu. Nanti didalam lift. Namun, ada kalanya kita berhadapan dengan lift kehidupan kontemporer. Sehingga untuk bisa sampai kepada tujuan hidup yang kita inginkan; kita harus memulainya dengan merencanakannya terlebih dahulu. Sebab, didalam lift kehidupan kontemporer ‘tidak akan ada lagi kesempatan’ untuk menekan tombol itu. Semuanya serba terlambat. Dan kita akan segera tersesat.

Namun demikian, lift kehidupan konvensional dan lift kehidupan kontemporer memberi kita inspirasi untuk menentukan; kapan saatnya kita boleh mengikuti arus yang dibuat oleh orang lain. Dan kapan saatnya untuk mengandalkan kemampuan diri kita sendiri.

Monday, November 9, 2009

selalu ada jalan pulang

Kadang kita merasa, bahwa diri merasa sangat hina karena sudah terlalu banyak lupa atau terlalu sering lalai. Dan kita merasa tak pantas ‘mendekat’ pada Allah. Padalah sungguh, Allah rindu pada orang-orang yg berpaling. Rindu agar kita kembali pada-Nya.

Allah berfirman, “Andaikan orang-orang yg berpaling dari-Ku mengetahui kerinduan-Ku atas kembalinya mereka dan cinta-Ku akan taubatnya mereka, niscaya mereka akan meleleh karena rindunya mereka kepada-Ku. Wahai Daud, demikianlah cinta-Ku kepada orang-orang yg berpaling, maka bagaimanakah cinta-Ku kepada orang-orang yg datang kepada-Ku?”

Kadang kita merasa, bahwa diri tak pantas lagi meminta sekedar ampunan. Karena sudah terlalu banyak dosa. Padahal Allah sungguh membela manusia di hadapan para Malaikatnya, bahkan.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa ketika seorang hamba yg berlumuran dosa menengadahkan tangannya ke langit sambil berkata, “Wahai Tuhanku.” Maka malaikat buru-buru menghalangi suara orang itu agar tidak terdengar sampai ke langit. Begitu si hamba mengulanginya, “Wahai Tuhanku,” malaikat kembali menghalangi suaranya. Pada kali ketiga ia meminta, “Wahai Tuhanku,” malaikat tetap menutupi suara itu. Sampai pada panggilan keempat, Allah berfirman,

“Sampai kapan kalian menghalangi suara hamba-Ku untuk sampai kepada-Ku? Aku penuhi panggilanmu wahai hamba-Ku. Aku penuhi panggilanmu wahai hamba-Ku. Aku penuhi panggilanmu wahai hamba-Ku. Aku penuhi panggilanmu wahai hamba-Ku.”

Allah kemudian berfirman, “Wahai anak Adam, aku telah menciptakanmu dengan tangan-Ku, Aku bimbing engkau dgn nikmat-Ku, tetapi engkau menyalahi Aku dan bermaksiat kepada-Ku. Jika engkau kembali kepada-Ku, maka Aku terima taubatmu. Dimanakah engkau bisa mendapatkan Tuhan seperti Aku? Akulah Dzat yg Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Allah juga berfirman, “Wahai hamba-Ku, Aku telah mengeluarkan kalian dari tidak ada menjadi ada, Aku menciptakan untukmu pendengaran pengelihatan, dan pikiran. Wahai hamba-Ku, aku tutupi aibmu tetapi engkau tidak sedikitpun merasa takut pada-Ku. Aku senantiasa mengingatmu tetapi engkau melupakan-Ku. Aku malu kepadamu tetapi engkau tidak pernah merasa malu kepada-Ku. Siapakah yg lebih besar kasih sayangnya daripada Aku? Siapakah yg pernah datang mengetuk pintu-Ku lalu Aku tidak membukanya? Siapakah yg meminta kepada-Ku yg tidak Aku beri? Apakah aku ini Dzat yg Bakhil sampai hamba-Ku begitu bakhilnya kepada-Ku?”

Allah juga berfirman, “Sungguh, Aku mendapati diri-Ku sangat malu pada hamba-Ku yg mengangkat kedua tangannya sambil berkata, “Ya Tuhanku, Ya Tuhanku,” lalu Aku menolaknya. Para Malaikat berkata, “Wahai Tuhan kami, dia itu tidak pantas untuk diampuni.” Lalu Allah berfirman, “Tapi aku Maha Pemberi takwa dan Maha Pengampun, karena itu Aku persaksikan kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni dosa hamba-Ku.”

Ternyata selalu ada jalan pulang kembali kepada-Nya…

Thanks to Mas Yusuf atas pencerahannya