Thursday, December 27, 2007

Nikmatnya berkeluh kesah

“Ya minta aja ama ALLAH, .... emang di tangan Tuhan, kalo gak diambil sendiri ya tetep di tangan Tuhan terus.....bla,bla,,bla”



Beberapa waktu yang lalu saya mendapat sms dari seorang sahabat baik, agak bernada jengkel dan mangkel mungkin dengan kelakuan saya ini, mungkin lho ya.

Mungkinkah manusia sama sekali tidak berkeluh kesah ? Tidak mungkin. Karena tidak ada hidup tanpa masalah. Dan yang pasti tidak ada hidup yang selalu berjalan sesuai keinginan.

Masalahnya adalah, kapan saatnya dan kepada siapa kita layak berkeluh kesah ?
Kadang kita melampiaskan keluh kesah semaunya, dan saya pikir itu tidak boleh. jika kita sadar terhadap kedhaifan dan kelemahan kita sendiri di hadapan kekuasaan Allah SWT, kita pasti mengetahui bahwa Allah sajalah yang bisa menjadi tempat berkeluh kesah.

Berkeluh kesah kepada sesama manusia apalagi mengeluarkan kalimat-kalimat kutukan pada diri sendiri dan menyalahkan Allah SWT

Kita adalah manusia yang serba terbatas, serba kurang, serba tidak mampu. Rasa dhaif dan lemah itulah yang mengantarkan kita untuk bermunajat, mengadu, mengungkapkan keluh kesah pada Allah dalam doa.

Pengaduan dan munajat kepada Allah atase berbagai masalah adalah kebiasaan para Nabi. Dalam salah satu doa Nabi Yaqub, “Sesungguhnya hanyalah pada Allah aku mengadukann kesusahan dan kesedihanku dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya”.

Begitu juga yang terjadi dengan Rasulullah, saat dilempari batu dan diusir oleh penduduk Quraisy, saat perang Badar dan banyak moment penting dalam perjuangannya. Rasulullah selalu mengembalikan semuanya kepada Allah SWT. Dengan demikian, jiwanya menjadi tenang dan sikap-sikap menjadi lebih terarah.

Semuanya berasal dari Allah, maka minta dari Allah penyelesaiannya. Sampaikan keluh kesah hidup ini kepada Yang Menciptaktakannya. Yakinlah bahwa segala usaha untuk menyelesaikan masalah yang tidak kita inginkan tidak akan berhasil tanpa izin Allah.

Menyampaikan keluh kesah hanya kepada Allah harus diiringi dengan sikap menahan keinginan-keinginan terhadap sesuatu. Ini juga termasuk masalah yang penting. Karena kekecewaan lahir dari seseorang yang tidak dapat menahan hati dari keinginan yang tidak tercapai. Jika segala masalah disikapi secara bijaksana, ia bisa saja membawa kita pada kebaikan. Tapi jika sebaliknya, ia akan membawa kita pada keburukan yang lebih dalam. Jadi menurut saya tidak selamanya duka cita membawa penderitaan.


Allah selalu menyediakan banyak sekali hikmah dan manfaat dari peristiwa yang kita anggap tidak sesuai dengan keinginan kita. Diantaranya adalah kekecewaan, kepahitan, kesulitan, duka cita memang harus ada dalam roda kehidupan kita.


Terakhir, Bahwa Duka cita itu penting untuk memahami kenyataan, yaitu kenyataan bahwa kita punya Allah, dan kita jadi sadar bahwa kita jadi semakin membutuhkan Nya dalam hidup ini.

Bagi para pembaca yang keinginan dan cita-cita tahun ini belum terselesaikan, berjuang dan berdoalah. Keyakinan diri bahwa kita mampu menggapainya sangat pengaruh bagi mental dan emosional kita. Jangan sedih...

Wednesday, December 19, 2007

Mari ber Qurban

"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadanya nikmat yang banyak, Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu, dan Berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus."


Esensi kurban bukanlah menyembelih hewan setahun sekali, namun ketaatan penuh atas seluruh perintah Allah SWT. Berikan kepada-Nya yang terbaik, sebab sesungguhnya Sang Maha Pemilik tidak membutuhkan apa pun dari kita. Kitalah yang selalu yang membutuhkan-Nya. Allah menguji keimanan kita seperti menguji keimanan Ibrahim dengan memerintahkan menyembelih Ismail AS. Allah tidak membutuhkan darah dan dagingnya. Dia sekadar menguji keimanan Ibrahim AS dengan perintah yang berat itu.

Filosofi ini berlaku hingga hari ini. Di saat kebutuhan ekonomi masyarakat semakin materialistis, Allah menguji kita untuk berkurban. Tentu akan terasa berat bagi yang mementingkan urusan dunia. Namun akan menjadi ringan saat kita taat kepada-Nya. Motivasi lainnya dengan kurban kita akan berbagi dengan masyarakat dhuafa di pedalaman dan korban bencana. Insya Allah terwujud nilai silaturahim yang luar biasa.

Bagi para pembaca yang ingin kurban Sapi/Kambing dengan membeli langsung silakan, banyak tempat untuk membeli di sekitar kita.

Bagi para pembaca yang ingin gampang, ikuti beberapa program yang ada, misalnya :

1. Qurban by Request oleh Al Azhar Peduli.
Harga Kambing Rp. 745.000,00
Harga Sapi Rp 5.650.000,00

Info lebih lanjut Phone to : 021 7221504

2. Tebar Hewan Kurban, Kurban Tanpa Batas oleh Dompet Dhuafa
Harga Kambing Rp 755.000,00
Harga Sapi Rp 5.755.000,00

Hubungi ke Kurban tanpa Batas Hotline 021-721 10 35

3. QURBANKU untuk korban bencana
Harga Kambing Rp 775.000,00
Harga Sapi Rp 5.750.000,00

hubungi ACT 021-7414482 Aksi Cepat Tanggap

Semoga kita termasuk orang-orang yang bertaqwa.
Amien...Mari Ber Qurban.

Tuesday, December 18, 2007

Pacaran is Sunk Cost

I have just discussed with my friend, Riecky, that the guy who was left by his girlfriend after what he did (he said he had done everything -- presumably good things in his view) was just not good enough for the girl. Well, if I were my student, I would have given that answer a B-minus. A better answer is: because the costs incurred during dating or pacaran are sunk.

Again, dating is a two-to-tango game. So, when the guy said he had given everything, chances are she had given everything, too. When they both were giving each other, they incurred both costs and benefits -- of which I do not want to dwell into details.

In the story (Samuel Mulia, my apologies, I'm using your article here again -- by the way, keep up good writing), one person is left out: the girl. The decision that is relevant to see why "she left me after all what I had done" is the girl's decision to leave him, not the guy's fate to be left alone. That is, what matters is what probably triggered the girl to leave. So let's focus on her.

In the period of dating, the girl incurred costs: makeups, fancy skirts, perfumes, even the effort to walk and talk "like a lady". All this she did to attract and later, to keep that lucky guy with her. Right before she did every single item above, she had an expectation: All these I would do because I expect him to give me this or that, in return. But once the activities were done (e.g. once the fancy skirt was bought), they all became sunk costs: they were not recoverable (well, she might go to second hand market selling the used skirt, but hey, she is a lady).

Fast forward. There was a quarrel between the two lovebirds. The girl was now at the margin of decision: leave or stay (or, if you don't like these terms, use: leave him or keep him). What would you think she had in mind, as factors affecting her decision? Yes the costs and benefits of leaving him. She would leave him if the resulting benefits (relief, chances to get a new guy, etc) exceeded the costs (effort to make him go and to make up good, convincing story to friends, etc). But the costs incurred during pacaran were not relevant anymore.

(If this is not convincing, try picture you are about to go mudik. You are thinking of driving your car or simply take the train. The amount of money you used when you bought the car is not relevant to your decision).

So, ladies, next time a jerk begs you to not leave him, using "Please don't go, Honey. Remember what I have given you all this time?" Tell him: "Baby, it's all sunk. Now shut up".

So lets Taaruf.....

Thursday, December 6, 2007

Some perspective

A guy wearing Harvard t-shirt is enjoying a cup of coffee in a coffee shop in a mall with his 2-month old baby girl. The mom's shopping somewhere upstairs; but she could also be shopping somewhere in Orchard Road, no one can presume. Which kind of signaling do you think happened?

A. From the guy's perspective:

I'm straight, don't bother to approach (if we're talking about Blok M plaza, this is very relevant. Not that there's anything wrong with not being straight)

I'm happily married, don't bother to approach.

Look at me, I'm a perfect husband and dad. Aren't I interesting?

Look at me, my wife told me to stay here while she's shopping, and I do what she said...

B. From the baby's perspective:

Look at my dad. He went to Harvard, so I'll go there under the legacy admission.

Look at my dad. He went to Harvard. He must be rich and so must I (am I?).

Look at my dad. He went to Harvard. Don't bother approach me if you're not that smart.


By the way, my dad went to Harvard under scholarships, so he's not that rich. That's why we only go to this mall.


C. From the wife's perspective:

My husband's not available. Our baby is the territorialmarking.

I have a submissive husband. He'd like to sit our baby while I'm shopping.

Any other ideas...?

Kaya dan Zakat

Hhh... malam itu, seabis kelar baca Saya tidak Ingin Kaya nya AA Gym, saya tertegun. Saya sering mendengarnya. Namun setiap kalinya, selalu berkesan. Selalu lebih kuat.

”Lho, bukannya saya ingin kaya, tapi saya harus kaya” kata Aa Gym.
Hhmm.. begitulah, akhir-akhir ini saya jadi sering sekali berpikir tentang kekayaan. Bukan, bukannya saya tidak sepakat dengan ucapannya Aa Gym. Tapi justru karena saya mengiyakan setiap baitnya. Muslim memang harus kaya. Tapi, masalahnya, siapa sih yang layak disebut kaya itu ? Lalu, sebanyak apa kekayaanya ?

Ide yang paling umum, orang kaya adalah orang yang punya rumah di Menteng, Kebayoran, Pondok Indah dengan pekarangan luasnya serta berjejer mobil-mobil mewah di dalamnya, atauu...orang yang punya rumah di deretan Valentino-nya kompleks bintaro plus honda jazz terbaru digarasinya. Mmm, tapi kalau rumah itu berarti kredit dua puluh tahun plus mobil itu tambahan lima tahun kredit lagi, judulnya adalah gak tenang. Mau pakai istilah credit card kek, KPR plus plus kek, itu tetap saja hutang. Yah, seperti beberapa kenalan saya yang kebetulan pasangan muda dan punya double income. Lha, terus kalo ngontrak terus, judulnya juga deg-degan. Aah, itu diluar konteks yah, kan tulisan ini tidak memuat tips-tips bagi pasangan muda. Tapi lebih luas lagi.

Lalu, ide yang lain ? mmm... mungkin seperti rekan saya, yang anaknya cuma dua dan kebetulah dua-duanya sudah di perguruan tinggi, tapi pembantunya di rumah ada empat. Pasti kaya banget kan. Eh, tapi kalau menjelang lebaran ini, dia panik luar biasa karena pembantu-pembantunya pulang kampung semua, menurut saya dia harus kita coret ya. Lha, wong, mempertahankan sesuatu saja ’nda bisa, rasanya dia tidak sungguh-sungguh kaya.

Ooh ya, ada lagi, mungkin seperti cerita teman saya, yang kaya itu adalah perempuan yang jadi manager di perusahaan bagus dan suaminya pejabat pemerintahan dan petinggi partai yang sedang berkuasa. Kaya dong, tentunya, bukan double income lagi tapi multi income. Aah, tapi kalau sebentar-sebentar anaknya yang perempuan – yang ternyata ga pe de sama sekali -- minta operasi bedah plastik kakinya karena kurang seksi, atau hidungnya yang dirasa kurang bangir dan gak berbentuk segitiga. Dan kebetulan minta operasinya di Perancis atau di MayoClinicnya Rochester, kan ga normal tuh. Cash flow nya balance sekali. Uang yang masuk sederas uang keluar. Atau mungkin malah cash flownya bleeding lagi. Di reject saja pendapat teman saya itu.
Terus, siapa dong yang kaya itu?

Kalau ini bukan, itu ditolak. Ooopss, pasti artis ya, artis kan pemasukannya bisa setengah milyar ya dalam semalam. Wah, kalau artis sih, sudah ga masuk list dari awal. Kok bisa ? Ya iya dong, kan para artis ini ga bisa membeli kebebasannya. Waktu-waktu pribadinya. Digosipin terus.

Haha... terus siapa dong yang kaya itu? Jangan-jangan ga ada lagi, bottom line-nya aja ga jelas gitu. Sebelumnya, saya juga berpikir begitu. Rasanya orang yang saya cari tidak nyata. Adanya hanya pada tataran teoritis atau di alam saat semua garis adalah kebaikan. Tapi, akhir-akhir ini saya baru menemukannya. Dan, heyy, look, ini bukan di negeri dongeng. Mereka ada, dan real !

Salah satu contohnya ya, salah seorang teman saya, ibu-ibu. Sangat sederhana, bahkan untuk ukuran karyawan. Posisinya dikantor biasa saja. Suaminya pegawai negeri biasa. Anaknya empat, laki-laki, usia sekolah semua. Tapi ternyata sedekahnya untuk para satpam/cleaning service/messenger jumlahnya sangat besar, bahkan lebih besar dari salah satu manager.

Seorang teman perempuan saya pun saya sebut sangat kaya. Dia bekerja di perusahaan yang menurut saya sih ga manusiawi, kerja dengan waktu di luar batas toleransi saya. Mending gajinya sepadan bebannya, tapi nope tuh. Saya berkali-kali bilang padanya, tapi dia bilang bekerja itu ibadah, dan yang penting ikhlas, sampai Allah menentukan sesuatu yang lebih baik. Hh.. susah deh, kalau orang terlalu baik begini.

Terlalu ’nrimo, tidak punya daya pemberontak. Haha.. untungnya imannya kuat, tidak terpengaruh saya . Tapi yang saya kagumi, dia rela membelah-belah dirinya demi sesuatu yang lebih baik dan lebih besar. Di sisa-sisa waktunya – yang masih aktif di berbagai kegiatan --, masih sempat ngurusin bazaar ramadhan di hari ini sampai rela menguras uangnya, tenaga dan pikirannya tentu. Dan saya yakinnya, besok senin, dia pasti sudah stand by di kantor dengan kalem tanpa ada orang yang mengira dia sudah melakukan hal besar kemarinnya. Seseorang yang tidak hanya memikirkan segala pernak-pernik tentang dirinya, tidak hanya berpusat pada dirinya, tidak egosentris, dan masih memiliki energi banyak untuk memberi dan berbagi pada yang lain adalah sangat kaya menurut saya.

Oh ya, adalagi yang kaya menurut saya, seorang laki-laki, usia pertengahan. Biasa saja. Tipe bapak-bapaklah. Tapi saya jadi memperhatikannya. Lekat. Habis hatinya baik sekali. Terharu sekali saya melihatnya. Dia tidak membiarkan satu pengemis/pengamen/anak-anak yang menyapu sambil menadahkan upah itu --– yang jumlahnya buuanyaaakk sekali itu --- lewat didepannya tanpa ia menyodorkan sehelai kertas. Entah laki-laki itu baru dapat bonus mungkin, atau warisan, who knows. Tapi orang yang tidak membiarkan tangan dibawah lewat dengan hampa begitu saja dari hadapannya adalah orang yang kaya, menurut saya. Meskipun dia sudah membayar zakat atau sedekah ditempat lain, misalnya.

Karena mengutip ucapan Bapak saya ya, sedekah itu adalah wujud nyata kemurahan hati. Kalau zakat, bukan tentang kemurahan hati, tapi tentang kebesaran hati, karena zakat adalah hak orang lain. Nah, kalimat terakhir ini yang membuat mendung saya kemarin sore sirna seketika. Dan saya merasa sangat bodoh setelahnya. Iya dong, zakat adalah hak orang lain, hak fakir miskin, hak para mualaf, hak pejuang fii sabillilah, dan hak orang-orang lain yang tidak seberuntung kita. Tidak pernah sekali pun jadi milik kita. Hanya kebetulan dititipkan pada kita.

Makanya, saya menertawakan diri saya sendiri, lama, kok bisa-bisanya cemberut hampir seharian gara-gara terlalu nervous menghitung zakat tahunan saya. Lha, logikanya kan dapat, hak orang lain toh. Bukan milik kita. Kok seperti melepas sesuatu yang begitu lekat ? poor me...

Setelahnya dengan semangat seorang relawan baru pengumpul zakat plus galak sedikit, saya sms teman-teman saya, ayo, hitung zakat dengan teliti. Mobil, coba dimasukin. Emas, coba ya, dihitung juga. Usaha-usaha, dagang, ternak lobster,saham dan reksadananya, konsultan software, biro travelnya coba ya, teliti ulang – kebetulan beberapa teman ada yang berwiraswasta --. Haha.. gak apa-apa galak sedikit, inginnya kan kaya bareng-bareng, iya gak ?

Jadilah sore itu sore pembelajaran menjadi kaya. Ingin kaya, berzakatlah... bisik saya berkali-berkali. Mmh.. setelah dipikir-pikir, motto itu bagus juga, kok jadi narsis gini.. Yup, bismillah, sebuah usaha kan, sama-sama pejuang kan, untuk mendekat pada Pusat Seluruh Cinta... Insyaallah kita bertemu disana ya... Janji ?
Ooopss, saya tersentak, tiba-tiba, eh, wait , ada yang melintas cepat, jika zakat profesi 2,5%, zakat maal 2,5%, terus.. terus.. zakat bonus itu kan 20%... Huuaaah.. THR itu masuk zakat bonus gak ya? Terus bonus review performance tengah tahun saya kemarin... itu 20% juga-kah ? Terus rebat dari distributor itu ? Jika iyyyaaa…………
Adduhh, hati, mengapa begitu membenci surga ???

-with backsound Bila Waktu Tlah Berakhir-nya Opick..
mmh… jika sungguh-sungguh waktu telah berakhir???